Surat dari Susuhunan Amangkurat II di Kartasura kepada Pemerintah Agung di Batavia, 18 December 1699

Kata Pengantar oleh M. C. Ricklefs, Professor Emeritus, The Australian National University

Download the full article in PDF

M. C. Ricklefs, “Surat dari Susuhunan AmangKurat II di Kartasura kepada Pemerintah Agung di Batavia, 18 December 1699”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Europa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 14. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2014.

 

OLEH M. C. RICKLEFS

Surat ini ditulis oleh Susuhunan Amangkurat II (memerintah 1677-1703) ketika sedang menghadapi keadaan yang teramat sulit serta memprihatinkan: kendali beliau atas istana serta kerajaannya sudah nyaris lenyap. Seperti dinyatakan dalam dokumen 13 Harta Karun, ketika itu suasana permusuhan dan  kebuntuan diplomatik antara VOC dengan keraton Kartasura sudah  hampir mencapai puncaknya; harapan untuk tercapainya rekonsiliasi sangatlah kecil dan pihak VOC bahkan sudah tidak berharap lagi.

Di dalam lingkungan keraton aroma persaingan dan intrik semakin kental dan membahayakan. Di sebelah timur kerajaan, Surapati sudah mencaplok kawasan dan mendirikan sebuah wilayah merdeka di Pasuruan. Dalam kurun waktu 1698-1699 dia berhasil melancarkan serangan ke arah Barat hingga mencapai Madiun dan Ponorogo. Sementara di ujung timur, kerajaan Balambangan yang merdeka telah ditaklukan di tahun 1697 oleh penguasa Bali Gusti Panji Sakti dari Buleleng, yang rupanya bekerjasama dengan Surapati. Di Surabaya, penguasa setempat Angabei Jagrana II berkiprah boleh dikatakan secara mandiri dan membetulkan tembok pertahanan kota sebagai antisipasi terjadinya serangan. Kesetiaan penguasa Madura Cakraningrat II kepada Kartasura diragukan, dan kalau pun ada hanyalah terbatas.

Dalam keadaan inilah Amangkurat II menulis surat tersebut kepada Gubernur Jenderal VOC serta Dewan Hindia Belanda di Batavia di bulan Desember 1699

Dalam surat ini raja menulis perihal ancaman yang ditebar Surapati, yang oleh VOC sudah diusahakan agar dapat ditangkap atau dibunuh oleh Amangkurat II, karena yang bersangkutan sudah membunuh sektiar 75 serdadu VOC termasuk Kapt. François Tack di keraton di tahun 1686.

Dalam surat tersebut Amangkurat II mengatakan bahwa Surapati memiliki 800 serdadu yang bersenjatakan snaphaenen (senapan sundut) yaitu bedil tangan jenis mutahir - istilah Inggrisnya adalah snaphance -  yang menggunakan alat pemicu tembakan dan bukan yang harus dipicu dengan korek api; senjata jenis tersebut mulai diperkenalkan di Jawa dalam kurun waktu ini. Penggunaan tehnik pemicuan senjata seperti ini serta peluru terbungkus kertas yang juga mulai diperkenalkan dalam kurun waktu ini, meningkatkan secara signifikan kehandalan, kecepatan serta ketepatan tembakan pasukan infanteri. Sangat mustahil bahwa Surapati sudah memiliki 800 senjata jenis tersebut, dan hal itu juga sudah dimaklum oleh VOC. Senjata demikian terkadang diberikan oleh VOC sebagai hadiah seperti juga tercantum dalam surat ini yang memuat pernyataan raja bahwa beliau sudah menerima sepasang  snaphaenen (besar kemungkinan sepasang pistol dan bukan senapan sundut).

Dalam kisah ini, tidaklah jelas kebenaran ancaman Surapati. VOC enggan memercayai apa yang dikatakan Amangkurat II dan, sebenarnyalah, Surapati memang tidak pernah menyerang Kartasura ataupun Surabaya.

Raja berusaha mendapatkan dukungan militer dari VOC dan mengatakan bahwa, apabila pertikaian mendatang dapat diatasi, maka beliau akan mengutus seorang perunding ke Batavia. VOC sudah terbiasa menerima janji-janji seperti itu dan sama sekali tidak berniat membalas permintaan raja.

Selama tahun 1700 hingga 1701, kebuntuan diplomatik terus berlanjut, disertai sejumlah janji untuk melakukan perundingan atau mengirim utusan., namun tidak pernah terjadi. Menurut sebuah sumber VOC lain, di antara hadiah-hadiah yang dikirimkan VOC kepada raja, terdapat beberapa potret yang menjadi sumber beredarnya cemoohan di kalangan para bangsawan Kartasura yang mengatakan bahwa VOC mengirim boneka dan bukan serdadu. Sebuah kesulitan mengapa perundingan yang benar-benar tidak dapat dilakukan adalah kemungkinan adanya rasa takut di antara para pembesar raja apabila diutus sebagai duta ke Batavia, bahwa mereka dapat dibunuh sebagai pembalasan atas pembunuhan Tack di tahun 1686. Hingga Amangkurat II wafat di bulan November 1703, tidak pernah dilakukan perundingan yang sebenarnya.             

           

Referensi:

M. C. Ricklefs, War, culture and economy in Java, 1677–1726: Asian and European imperialism in the early Kartasura period. Sydney: Asian Studies Association of Australia in association with Allen and Unwin, 1993.

 

M. C. Ricklefs, “Surat dari Susuhunan Amangkurat II di Kartasura kepada Pemerintah Agung di Batavia, 18 December 1699”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 14. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2014.