Sepucuk Surat Untuk Kaisar Besar Mongol Bahadur Shah I (m. 1707-1712), 4 Oktober 1709

Sultan Bahadur Shah (m. 1707-1712) menunggang gajah, 1785, Bibliothèque nationale de France.

Kata Pengantar oleh Maarten Manse

Download the full article in PDF

Ketika Kaisar Aurangzeb (memerintah, 1685-1709) wafat, berakhirlah pula sebuah kurun waktu kerajaan Mongol, sesudah beliau memerintah selama 49 tahun. Ketika itu pula, VOC berusaha memulihkan kembali jaringan perdagangannya di India yang sudah mengalami kemunduran hebat menyusul wafatnya Aurangzeb, karena pengganti beliau, Bahadur Shah I (memerintah, 1707-1712) membatalkan sejumlah hak serta kemudahan perdagangan Kompeni yang telah disetujui secara pribadi oleh almarhum. Dalam surat berikut ini, tertanggal 4 Oktober 1709, Gubernur Jenderal Joan van Hoorn (m. 1704-1709) memohon sejumlah “firman” atau dokumen-dokumen perdagangan yang ditandatangani oleh kaisar baru, disertai dengan meterai persetujuan pribadi kaisar. Dokumen-dokumen dagang tersebut, atau juga dikenal dengan nama “firman” (perintah) sangat diperlukan untuk menjamin perjalanan serta kegiatan perdagangan tanpa gangguan di dalam dan di sekitar kerajaan Mongol; dokumen-dokumen tersebut juga serta merta dihormati oleh para pejabat dan pedagang setempat.

Pada tanggal 5 Oktober 1709, dua kapal, Jerusalem dan Noordbeek berlayar dari Batavia menuju Surat, membawa serta surat Van Hoorn dan sejumlah petunjuk rinci untuk Cornelis Besuyen yang belum lama diangkat menjadi direktur di pos perdagangan Belanda di kota Surat (m. 1707-1709). Beliau ditugaskan untuk mengepalai kantor kedutaan pada istana Mongol di Delhi, 1711-1713 (lihat Resolusi tanggal 18 Juli 1713) dengan maksud untuk memperoleh kemudahan dari kaisar yang baru.

Sejak 1618, VOC memiliki sebuah gudang dan kantor di pelabuhan Gujarat di kota Surat yang semenjak dikuasai oleh Mongol tahun 1573, telah bekembang menjadi kota perdagangan utama bagi seluruh pesisir Barat India. Selain menjadi pelabuhan embarkasi bagi para peziarah haji ke Mekkah, kota tersebut juga merupakan pelabuhan antar bagi kegiatan perdagangan luar negeri di Samudera Hindia serta Teluk Persia, dengan menghubungkan Kerajaan Ottoman dengan sejumlah kerajaan Syafii.1 Dengan mendirikan sebuah pusat  dagang di Surat dan sejumlah kantor cabang di kota Ahmaadabad serta Agra, VOC telah memantapkan jalur pencapaiannya kepada produk tekstil serta bahan indigo dari Gujarat. Namun, memelihara hubungan dagang demikian dengan para pejabat Gujarat setempat ternyata tidaklah mudah. Para pegawai Kompeni berulang kali diharuskan untuk menghadapi para pejabat yang koruptif serta berniat jahat, sementara para pedagang India setempat seringkali terganggu oleh dukungan pihak Eropa kepada para pembajak serta kegiatan perdagangan ilegal.2 Di tahun 1699, orang-orang Eropa dikenakan apa yang dikenal dengan nama muchalka, yaitu keharusan untuk membayar kerusakan bersama yang diakibatkan oleh pembajakan di laut bebas. Menyusul sebuah pembajakan lagi di tahun 1702, perselisihan tercetus antara orang-orang Eropa dengan seorang pedagang terkemuka India bernama Mullah Abdul Ghafur terkait penggantian uang kerugian akibat kerusakan yang disebabkan pembajakan. Ghafur memohon kepada para petinggi kerajaan Mongol yang kemudian mengharuskan VOC membayar uang kompensasi tersebut namun yang bersangkutan menolak. Di tahun 1703, para petinggi India membalas dengan menjebloskan semua pegawai Eropa ke dalam penjara, termasuk direktur Hendrik Zwaardecroon (direktur di Surat, 1699-1703). Pihak Belanda membalas dengan mengirim sebuah skuadron hebat dan membajak sebuah kapal yang berpenumpang “seorang ustad”.3 Dibutuhkan dua tahun untuk mengurai kebuntuan dengan VOC memulangkan semua pegawainya dari Surat. Kantor dagang VOC pun ditutup; akan tetapi, blokade Belanda terhadap Surat baru dihapus di tahun 1707.4

Untuk dapat menghindar dari jeratan pedagang serta para petinggi setempat, dan juga demi menjamin akses ke jaringan perdagangan Mongol dengan selamat, para pegawai VOC secara aktif mencari dukungan dari kaisar Mongol, yang merupakan otoritas tertinggi serta paling dihormati di anak benua India. Di tahun 1662, sebuah rombongan kedutaan pun sudah diutus ke kerajaan Mongol dipimpin Dircq van Adrichem (direktur Surat, 1662-1665), dengan tujuan untuk memperoleh jasa baik dari Kaisar Aurangzeb, serta untuk mendapatkan “firman” atau dokumen-dokumen perizinan perdagangan.5 Pengiriman rombongan kedutaan tersebut untuk memperoleh jasa baik serta bantuan raja lazim dilakukan ketika itu: di abad tujuh belas, baik Aurangzeb maupun para pendahulunya telah pun menerima kunjungan misi demikian dari sejumlah perusahaan perdagangan Eropa, termasuk dari Prancis dan Inggris. Misi-misi demikian lazim dilakukan di mana-mana menyusul pergantian kekuasaan raja. Rombongan kedutaan pimpinan Van Adrichem sangatlah berhasil dan berhasil memperoleh sejumlah “firman” yang menyatakan bahwa Belanda diijinkan berdagang di Surat, Patna (Bengala) dan Orissa.6 Di tahun 1689, rombongan kedutaan kedua pimpinan Johannes Bacherus memusatkan kegiatan perdagangan pihak Belanda di Coromandel, dan untuk itu diperlukan sejumlah dokumen atau “firman” baru. Kendati dikeluarkan oleh kerajaan Mongol, dokumen-dokumen tersebut tidak diakui oleh para perwira kaisar Mongol di Masulipatam yaitu tempat duta besar Belanda telah kembali, dan pada akhirnya, dinyatakan tidak sah.

Dengan demikian, pengangkatan kaisar baru telah membuka pintu untuk melakukan sejumlah negosiasi baru yang dipimpin oleh Bezuyen.7 Beliau dibantu oleh dua wakil: Koopman (Pedagang)Rogier de Beerenaard yang mampu berbahasa Persia (bahasa resmi yang dipakai di kerajaan Mongol) dan Opperkoopman (Kepala Pedagang) Joan Josua Ketelaar yang terkenal berpengalaman luas di India dan Batavia, serta dikenal fasih dengan sejumlah bahasa serta kebiasaan “Muslim”.8 Ketelaar fasih berbahasa Hindi, dan selama masa jabatannya sebagai pegawai Kompeni di Surat di tahun 1680-an, telah menulis sebuah buku tata bahasa tersebut. Tujuan langsung rombongan kedutaan Bezuyen adalah untuk memperoleh dukungan kaisar baru, serta sejumlah “firman” baru yang menjamin VOC diijinkan untuk membangun sebuah kantor atau loji baru di Surat. Biaya pendirian kedutaan diperkiraan cukup tinggi ditinjau dari apa yang berlaku bagi VOC, namun dianggap dapat dipertanggung-jawabkan karena membagi-bagikan sejumlah hadiah mahal kepada pengadilan sangatlah perlu demi memperoleh dukungan kaisar.

Dengan demikian, perhatian pertama Bezuyen di Surat adalah menyusun serta mengumpukan benda-benda hadiah, schenkagie goederen. Akan tetapi, di bulan Oktober 1710, Bezuyen meninggal dunia sesudah menderita sakit berkepanjangan, dan beliau digantikan oleh Ketelaar yang pengangkatannya pun sudah pula dipertimbangkan ketika kedutaan sedang dipersiapkan.

Kegiatan kedutaan Ketelaar di istana kaisar Mongol yang baru, Bahadur Shah I, membuka wawasan para pedagang Belanda di akhir abad tujuh belas terkait kegiatan diplomasi tingkat tinggi di pengadilan Mongol dan budayanya. Wawasan tersebut sangatlah menawan namun juga membingungkan. Sesudah melakukan perjalanan darat yang cukup berat dan sukar melalui Agra dan Delhi, rombongan kedutaan akhirnya tiba di Lahore di bulan Desember 1711, yaitu tempat Kaisar belum lama tiba untuk meninjau kebun rayanya. Rombongan kedutaan Belanda membawa serta sejumlah besar barang bernilai mahal, termasuk batang-batang emas, sejumlah barang seni khas Eropa dan barang unik lainnya, senjata api, sejumlah ekor gajah, kuda serta barang hadiah lain. Begitu tiba, Ketelaar disambut hangat oleh dua orangyang sudah dihubunginya sebelumnya, dan yang dapat dipercaya. Salah seorang dari mereka adalah Donna Juliana Dias da Costa, seorang wanita Portugis yang lahir di India dan akhirnya menjadi salah seorang selir Bahadur Shag yang paling disayangi dan juga menjadi salah seorang istri beliau yang paling setia. Wanita bersangkutan menjadi tokoh utama bagi para duta besar Eropa yang berkiprah di pengadilan Mongol. Yang seorang lagi adalah seorang ningrat yang sangat berkuasa serta berpangkat tinggi, Zulfikar Khan. Dengan sangat cermat Ketelaar memilih kedua orang tersebut oleh karena sangat paham dengan ranjau-ranjau politik faksional yang berkecamuk antara berbagai pangeran Mongol beserta para pedukung masing-masing. Politik demikian seringkali mencetuskan serangkaian tindak kekerasan ketika seorang kaisar wafat seperti yang terjadi menyusul wafatnya Aurangzeb di tahun 1707.

Rombongan kedutaan diterima secara resmi oleh seorang Amīr “Hattumbeeckchan” (besar kemungkinan Khadim Beg Khan) yang ditugaskan untuk mengurus rombongan kedutaan. Pada tanggal 14 Desember, rombongan kedutaan Belanda memasuki Lahore dengan resmi, yaitu kota tempat pengadilan Mongol sementara berkantor. Kunjungan tersebut benar-benar merupakan sebuah peristiwa yang menyita perhatian orang: para serdadu beserta kendaraan mereka yang sarat dengan barang hadiah serta kawanan gajah yang berhiaskan aneka bendera, selendang, kain serta kain sulaman emas berjalanberiring memasuki rombongan tenda serta diperiksa resmi oleh Donna Juliana.9 Pemilihan Ketelaar pada Zulfikar Khan dan Donna Juliana serta para ningrat Mongol lainnya terlihat dari cara serta pembagian barang-barang hadiah kedutaan, sebuah kebiasaan penting dalam ketika muncul di pengadilan.

Francois Bernier, seorang tamu Prancis terkenal pada pengadilan Mongol di akhir abad ke tujuh belas sudah pun menyebutkan perihal pemberian serta pembagian barang-barang hadiah. Seperti ditulis Bernier di tahun 1668 dalam suratnya kepada atasannya,Manajer Kepala Jean-Baptiste Colbert, pendiri Compagnie des Indes Orientales, betapa di “Asia, para petinggi tidak pernah dikunjungi dengan tangan kosong”.10 Nasehat ini datang terlambat: Kompeni Prancis sudah mengutus terlebih dahulu sebuah rombongan ke kaisar Mongol yang tiba tanpa membawa hadiah yang tepat. Karena tiba dengan tangan kosong mereka langsung ditepis sebagai rombongan murahan oleh para petinggi Mongol.11 Dengan demikian, sangatlah penting untuk menciptakan suasana wah, royal serta penuh kedermawaan dengan membagi-bagikan hadiah berharga. Hanya dengan cara demikianlah sebuah rombongan kedutaan dijamin akan berhasil dalam sebuah pengadilan Mongol.

Belanda sangat menyadari hal ini: dalam dokumen berisi sejumlah petunjuk, Ketelaar menyarankan agar rombongan menahan diri dan jangan terlalu menampakan keinginan mereka karena ‘dapat menyebabkan orang-orang Muslim justru merasa terhina’.12 Oleh karena itu, selama seluruh bulan Desember tersebut, sejumlah hadiah dibagikan kepada kaisar, para putranya serta kaum ningrat penting lainnya.

Sudah tentu Bahadur Shah sendiri menerima hadiah paling berharga (diperkirakan bernilai lebih dari 130.000 florins, atau senilai dengan sekitar 1,61 juta dolar AS di tahun 2014 Daya Beli).13 Orang kedua yang menerima hadiah adalah Zulfikar Khan, diperkirakan bernilai lebih dari 92.000 florins (senilai dengan sekitar 1,14 juta dolar AS Daya Beli), antara lain seekor kuda sangat berharga.14 Yang terutama mencolok adalah nilai hadiah yang diberikan kepada ʻAzim-ush-Shan putra kedua Bahadur Shah (1664-1712) yang menerima pula sejumlah hadiah bernilai lebih dari 90.000 florins (senilai sekitar 1,12 juta dolar AS Daya Beli).15 Pangeran bersangkutan bersifat lebih tegas dan agak sombong serta lebih berkuasa ketimbang kakak-adiknya, tetapi dikenal sangat memusuhi orang-orang Nasrani.16 Beliau juga digambarkan sebagai sangat tamak dan dipercayai bahwa dengan mengirim hadiah tambahan, seperti disarankan oleh Donna Juliana, jasa baiknya dapat dibeli.

Biasanya, sebuah hadiah ditolak dahulu satu atau dua kali, tergantung nilainya, sebelum akhirnya secara resmi ”diterima dengan rasa terimakasih”. Nampaknya, Ketelaar memahami kebiasaan tersebut begitu juga tentang urutan jenjang kekuasaan terkait dengan bagaimana dan kepada siapa hadiah-hadiah seyogyanya dibagikan. Berkat hubungan beliau yang sudah terjalin dengan Donna Juliana dan Zulfikar Khan sebelumnya, serta nilai dan jumlah besar hadiah-hadiahnya, beliau diperhatikan kaisar dan Ketelaar memperoleh hasil diplomasi yang diidamkan: undangan untuk menghadap.

Pada tanggal 3 Januari 1712 beliau menghadap kaisar. Sesudah menunggu selama tiga jam, Ketelaar dibimbing menuju tenda kaisar oleh ‘Hattumbeeckchan’ (Khadim Beg Khan).17 Beliau menyerahkan nesser yaitu persembahan hadiah berupa uang emas dan perak, bersama dengan surat pengiring dari Gubernur Jenderal.18 Semua itu diserahkan kepada seorang Amir yang kemudian menyerahkannya kepada kaisar yang duduk di atas singgasana tinggi, didampingi dua putranya yang berpangkat agak di bawah sang paduka.19 Ketelaar dan para pembantunya kemudian menerima masing-masing sebuah jubah kehormatan; untuk Ketelaar berbenang emas dan untuk para pembantunya terbuat dari benang perak, dan juga sebuah ikat kepala; kedua benda tersebut merupakan hadiah yang lazim diberikan kaisar.20 Ketelaar dan para pembantunya mengucapkan terimakasih kepada raja dengan membungkukkan badannya empat kali seperti yang lazim dilakukan orang. Ungkapan terima kasih tersebut sangat berkenan di hati kaisar; memberi hormat kepada seorang penguasa Asia secara benar dan seperti yang lazim dilakukan orang setempat merupakan cara penting untuk menunjukkan hormat. Sesudah pertemuan pertama, Ketelaar kemudian mengirim gajah, kuda serta hadiah-hadiah lainnya yang berharga kepada kaisar.21 Terkesan dengan hadiah-hadiah tersebut serta tingkah laku Ketelaar selama pertemuan pertama, Bahadur Shah kemudian mengundang duta Belanda untuk menghadap kedua kali pada tanggal 24 Januari.

Ketelaar kembali menerima sebuah khila serta dua hadiah tradisional lain yaitu buah pinang, sebuah pisau belati tradisional dan untuk hadiah tersebut Ketelaar kembali berterima kasih kepada kaisar dengan melakukan kormus atau membungkukkan badan tiga kali.22 Atas permintaan kaisar, sang duta besar juga mempertunjukkan sebuah selingan musik dan sebuah latihan militer di hadapan ‘Moisuddien’ (Mu’izz-ud-Din, putra pertama Bahadur Shah).23 Sementara itu, Ketelaar berkunjung ke Zulfikar Khan yang juga diberikan sejumlah hadiah pada tanggal 12 Januari. Ketelaar mengucapkan beberapa ungkapan pujian dalam bahasa Hindi, sambil mengutarakan harapan semoga Zulfikar Khan berkenan memberikan sepatah dua kata dukungan untuk Kompeni; permintaan tersebut segera dikabulkan oleh Khan kendati sebenarnya beliau menentang pembangunan sebuah kantor baru di Surat. Ketelaar tidak memaksakan isu tersebut selama pertemuannya yang pertama karena paham bahwa hal tersebut akan dinilai sangat tidak hormat sesuai adat kebiasaan Muslim, karena pada pertemuan pertama sudah lazim diungkapkan sejumlah basa-basi.24 Kendati demikian, Ketelaar menuai banyak keberhasilan dalam bulan pertama di kalangan istana kaisar. Beliau menunjukkan pengetahuan serta pemahaman terkait kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut di kalangan istana Bahadur Shah. Dengan berbuat demikian, beliau secara bertahap masuk ke dalam kelompok para ningrat yang dekat dengan sang kaisar. Malang bagi pihak Belanda, semua itu tidak membuahkan keuntungan jangka panjang karena di akhir bulan Februari 1712, Bahadur Shah tiba-tiba meninggal pada usia 59 tahun. Ketelaar terpaksa harus mengulang lagi usaha negosiasinya kali ini dengan sang pengganti, Jahandar Shah, yang dahulu adalah Pangeran Mu’izz-ud-Din (m. 27 Februari 1712 – 11 Februai 1713). Nasib buruk tidak berhenti. Sesudah menerima sejumlah firman atau surat izin dari Jahandar Shah di bulan Agustus 1713, Ketelaar kembali ke Surat dan mendapatkan bahwa sebelum ketibaannya, Jahandar Shah telah digulingkan oleh keponakan beliau sehingga semua surat ijin tersebut tidak berarti apa-apa.

 

Maarten Manse, “Sepucuk surat untuk Kaisar Besar Mongol Bahadur Shah I (memerintah, 1707 – 1712): Pembinaan hubungan baik serta kerjasama dengan kerajaan muslim, 4 Oktober 1709”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 16. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2014.